Semua orang berharap bahwa seharusnya air diperlakukan sebagai bahan
yang sangat bernilai, dimanfaatkan secara bijak dan dijaga kualitasnya
dari pencemaran dan segala bentuk penyalahgunaan. Namun kenyataan air
selalu dihamburkan, dicemari dan disia-siakan serta disalahgunakan
pemanfaatannya.
Air minum merupakan salah satu unsur kebutuhan pokok manusia yang
menempati rangking teratas, dalam hierarki kebutuhan yang dikemukakan
oleh Abraham Maslow, air digolongkan kedalam kebutuhan fisiologikal,
artinya secara langsung berkaitan dengan fungsi dan kegiatan kehidupan
atau zat hidup. Kadar air tubuh manusia mencapai sekitar 70 (tujuh
puluh) persen, dan untuk tetap hidup, air dalam tubuh tersebut harus
dipertahankan. Kebutuhan air minum setiap orang bervariasi, rata-rata
antara 3 (tiga) liter hingga 6 (enam) liter per hari, tergantung pada
berat badan dan aktivitasnya. Namun, agar tetap sehat, air minum harus
memenuhi persyaratan fisik, kimia, maupun bakteriologis.
Ketika konsumen tertentu karena kebutuhannya membeli air minum dengan
memilih merek tertentu yang terkenal, selain karena alasan kualitas dan
kesehatan. Kebutuhan ini kemudian juga bisa menjadi kebutuhan prestise.
Namun demikian untuk sebagian konsumen lainnya membeli air minum dengan
merek terkenal dirasakan cukup mahal. Mereka akan mencari air minum
sejenis dengan harga ekonomis atau yang terjangkau oleh kemampuannya.
Peluang inilah yang dilihat dan dimanfaatkan oleh para pelaku bisnis
dengan menghasilkan produk air minum yang jauh lebih murah harganya.
Sehingga banyak bermunculan depot-depot air minum, yang selanjutnya
lebih dikenal dengan depot air minum isi ulang. Bahkan mereka berusaha
mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara tidak mengindahkan
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dan diatur oleh beberapa
peraturan perundang-undangan yang terkait dalam hal keamanan air minum
untuk dikonsumsi. Tindakan tersebut tentunya dapat merugikan konsumen
baik secara langsung maupun tidak langsung yang dapat berdampak bagi
kesehatan.
Hasil pengujian kualitas terhadap 120 (seratus dua puluh) sampel air
minum isi ulang dari 10 (sepuluh) kota besar (Jakarta, Bogor, Tangerang,
Bekasi, Cikampek, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Medan, dan Denpasar)
di Laboratorium Teknologi dan Manajemen Lingkungan, Departemen Teknologi
Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB), bau-baru ini,
menunjukkan bahwa kualitas air minum yang diproduksi oleh depot air
minum isi ulang bervariasi dari satu depot ke depot lainnya.
Sementara itu, ada kalanya konsumen ingin membeli/mengkonsumsi air hanya
melihat apakah air tersebut bening atau tidak bening (keruh). Akan
tetapi ada beberapa hal yang seharusnya konsumen berpikir secara logika
untuk mengkonsumsi air minum isi ulang ini. Sebagai ilustrasi, jika kita
hanya ingin mendapatkan air yang bening, maka kita cukup menggunakan
karbon aktif (bisa dari arang tempurung), dari air sumber/air baku yang
dihubungkan ke karbon aktif dan di tampung, maka hasilnya akan langsung
terlihat bening secara kasat mata. Hal ini telah coba dilakukan oleh
penulis di rumah, dimana kalau sebelumnya air tanah sangat kuning dan
keruh sekali, tetapi setelah melewati penggunaan proses karbon aktif,
maka air tersebut langsung terlihat bening sekali. Tapi apakah memang
cukup dengan bening telah menjamin bahwa air tersebut sudah layak
minum?.
Kembali ke air minum isi ulang tadi, berarti cukup dengan karbon aktif,
maka air yang diambil dari sumber yang kita tidak ketahui bisa menjadi
bening kembali, tinggal saja, apakah air minum isi ulang tadi melalui
proses ionisasi dan atau ultra violet, sehingga bakteri yang ada dalam
air akan mati. Kalau tidak, berarti air tersebut masih tetap tidak layak
untuk diminum.
Permasalahan yang dihadapi sekarang adalah karena kurangnya informasi
yang disampaikan kepada masyarakat, kurangnya pengawasan dari instansi
terkait serta belum optimalnya upaya penegakan hukum mengakibatkan
banyak pelaku bisnis dengan leluasa melakukan penyalahgunaan terhadap
air minum isi ulang tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar